Mengenal Manusia Purba - Bagian 3
Februari 24, 2019
Tambah Komentar
Mengamati lingkungan
Pernahkah kamu mendengar tentang Situs Manusia Purba Sangiran? Kini Situs Manusia Purba Sangiran telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, tentu ini sangat membanggakan bangsa Indonesia. Pengakuan tersebut tentu didasari berbagai pertimbangan yang kompleks. Satu di antaranya karena di wilayah tersebut tersimpan ribuan peninggalan manusia purba yang menunjukkan proses kehidupan manusia dari masa lalu. Sangiran telah menjadi sentral bagi kehidupan manusia purba. Berbagai penelitian dari para ahli juga dilakukan di sekitar Sangiran. Beberapa temuan fosil di Sangiran telah mendorong para ahli untuk terus melakukan penelitian termasuk di luar Sangiran.
Dari Sangiran kita mengenal beberapa jenis manusia purba di Indonesia. Setelah ditetapkan sebagai warisan dunia, Situs Manusia Purba Sangiran dikembangkan sebagai pusat penelitian dalam negeri dan luar negeri, serta sebagai tempat wisata. Selain itu Sangiran juga memberi manfaat kepada masyarakat di sekitarnya, karena pariwisata di daerah tersebut.
Untuk memahami jenis dan ciri-ciri manusia purba di Indonesia mari kita telaah bacaan berikut ini.
Memahami Teks
Peninggalan manusia purba untuk sementara ini yang paling banyak ditemukan berada di Pulau Jawa. Meskipun di daerah lain tentu juga ada, tetapi para peneliti belum berhasil menemukan tinggalan tersebut atau masih sedikit yang berhasil ditemukan, misalnya di Flores. Di bawah ini akan dipaparkan beberapa penemuan penting fosil manusia di beberapa tempat.
1. Sangiran
Perjalanan kisah perkembangan manusia di dunia tidak dapat kita lepaskan dari keberadaan bentangan luas perbukitan tandus yang berada di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar. Lahan itu dikenal dengan nama Situs Sangiran. Di dalam buku Harry Widianto dan Truman Simanjuntak, Sangiran Menjawab Dunia diterangkan bahwa Sangiran merupakan sebuah kompleks situs manusia purba dari Kala Pleistosen yang paling lengkap dan paling penting di Indonesia, dan bahkan di Asia. Lokasi tersebut merupakan pusat perkembangan manusia dunia, yang memberikan petunjuk tentang keberadaan manusia sejak 150.000 tahun yang lalu. Situs Sangiran itu mempunyai luas delapan kilometer pada arah utara-selatan dan tujuh kilometer arah timur-barat. Situs Sangiran merupakan suatu kubah raksasa yang berupa cekungan besar di pusat kubah akibat adanya erosi di bagian puncaknya. Kubah raksasa itu diwarnai dengan perbukitan yang bergelombang. Kondisi deformasi geologis itu menyebabkan tersingkapnya berbagai lapisan batuan yang mengandung fosil-fosil manusia purba dan binatang, termasuk artefak. Berdasarkan materi tanahnya, Situs Sangiran berupa endapan lempung hitam dan pasir fluvio-vulkanik, tanahnya tidak subur dan terkesan gersang pada musim kemarau.
Sangiran pertama kali ditemukan oleh P.E.C. Schemulling tahun 1864, dengan laporan penemuan fosil vertebrata dari Kalioso, bagian dari wilayah Sangiran. Semenjak dilaporkan Schemulling situs itu seolah-olah terlupakan dalam waktu yang lama. Eugene Dubois juga pernah datang ke Sangiran, akan tetapi ia kurang tertarik dengan temuan-temuan di wilayah Sangiran. Pada 1934, Gustav Heindrich Ralph von Koeningswald menemukan artefak litik di wilayah Ngebung yang terletak sekitar dua km di barat laut kubah Sangiran. Artefak litik itulah yang kemudian menjadi temuan penting bagi Situs Sangiran. Semenjak penemuan von Koeningswald, Situs Sangiran menjadi sangat terkenal berkaitan dengan penemuan-penemuan fosil Homo erectus secara sporadis dan berkesinambungan. Homo erectus adalah takson paling penting dalam sejarah manusia, sebelum masuk pada tahapan manusia Homo sapiens, manusia modern.
Situs Sangiran tidak hanya memberikan gambaran tentang evolusi fisik manusia saja, akan tetapi juga memberikan gambaran nyata tentang evolusi budaya, binatang, dan juga lingkungan. Beberapa fosil yang ditemukan dalam seri geologis-stratigrafis yang diendapkan tanpa terputus selama lebih dari dua juta tahun, menunjukkan tentang hal itu. Situs Sangiran telah diakui sebagai salah satu pusat evolusi manusia di dunia. Situs itu ditetapkan secara resmi sebagai Warisan Dunia pada 1996, yang tercantum dalam nomor 593 Daftar Warisan Dunia (World Heritage List) UNESCO.
2. Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di daerah Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur. Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pegunungan Kendeng. Pada saat Dubois meneliti dua horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa. Prageraham itu menunjukkan ciri gigi manusia bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A.
Trinil adalah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah administrasi Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala telah lebih dulu ditemukan di daerah ini jauh sebelum von Koeningswald menemukan Sangiran pada 1934. Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil telah membawa penemuan sisa-sisa manusia purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan. Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang menunjukkan pemiliknya telah berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon yang digunakan oleh Tengku Jakob dan Curtis terhadap batu apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta tahun. Pengujian juga dilakukan dengan mengambil sampel endapan batu apung dari dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para ahli dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1.200-1.400 cc). Tulang kening sangat menonjol dan di bagian belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menandakan otak yang belum berkembang. Pada bagian belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya merupakan perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini telah mencapai usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan manusia purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah. Temuan berupa tengkorak anak-anak berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang membantu penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi bahan diskusi yang menarik bagi para ilmuwan. Metode pengujian penanggalan potasium-argon yang digunakan oleh Tengku Jakob dan Curtis terhadap batu apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak itu menunjukkan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta tahun. Pengujian juga dilakukan dengan mengambil sampel endapan batu apung dari dalam tengkorak dan menunjukkan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para ahli dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.
Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini merupakan individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah diantara kamu yang tertarik untuk melakukan pengujian ini?
Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc. Ciri-ciri ini menunjukkan Homo erectus ini lebih maju bila dibandingkan dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa jenis manusia purba yang pernah hidup di zaman pra-aksara.
1. Jenis Meganthropus
Perdebatan itu kemudian berlanjut hingga
ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan penemuan tersebut dalam seminar internasional
zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam pameran publik British
Zoology Society di London. Setelah seminar dan pameran itu banyak ahli yang
tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan semua
hasil temuannya itu, hingga pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh
Franz Weidenreich. Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian
ilmu paleoantropologi telah lahir di Indonesia.
Jenis manusia purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koeningswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang manusia yang berukuran besar. Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para ahli menamakan jenis manusia ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya manusia raksasa dari Jawa. Jenis manusia purba ini memiliki ciri rahang yang kuat dan badannya tegap. Diperkirakan makanan jenis manusia ini adalah tumbuhtumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
2. Jenis Pithecanthropus
Jenis manusia ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di dekat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Setelah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat tanda-tanda kera. Oleh karena itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya manusia kera yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis. Jenis manusia purba yang juga terkenal sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis manusia purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah
3. Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo. Ciri-ciri jenis manusia Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus. Bentuk fisiknya tidak jauh berbeda dengan manusia sekarang. Hidup dan perkembangan jenis manusia ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu. Tempat-tempat penyebarannya tidak hanya di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan Cina Selatan.
Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh berbeda dengan manusia modern. Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ karena telah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia hingga saat ini? Para ahli paleoanthropologi dapat melukiskan perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan pendahulunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya karena tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo erectus.
Hal
ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo
sapiens jauh lebih lemah dibanding sang
pendahulu tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo sapiens menunjukkan
karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus.
Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan adalah bertambahnya
kapasitas otak. Homo
sapiens mempunyai kapasitas otak yang
jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh lebih
bundar dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang
mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.
Segi-segi morfologis dan tingkatan kepurbaannya
menunjukkan ada perbedaan yang sangat nyata antara kedua spesies dalam genus
Homo tersebut. Homo sapiens akhirnya
tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan
lingkungannya, dan dengan cepat menghuni berbagai permukaan dunia ini.
Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh
ini manusia modern awal di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak telah
hadir sejak 45.000 tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, kehidupan manusia
modern ini dapat dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu (i) kehidupan manusia
modern awal yang kehadirannya hingga akhir zaman es (sekitar 12.000 tahun
lalu), kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan manusia modern yang lebih
belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal sebagai ras
Austromelanesoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun lalu muncul penghuni baru
di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia.
Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk manusia ini tergolong dalam ras
Mongolid. Ras inilah yang kemudian berkembang hingga menjadi bangsa Indonesia
sekarang.
Beberapa spesimen (penggolongan) manusia Homo sapiens dapat dikelompokkan sebagai berikut,
a. Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo
wajakensis) merupakan satu-satunya temuan di Indonesia
yang untuk sementara dapat disejajarkan perkembangannya dengan manusia modern
awal dari akhir Kala Pleistosen. Pada tahun 1889, manusia Wajak ditemukan oleh
B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pegunungan karst di barat laut
Campurdarat, dekat Tulungagung, Jawa Timur. Sartono Kartodirjo (dkk)
menguraikan tentang temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah
ruas leher. Temuan Wajak itu adalah Homo sapiens.
Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bagian mulutnya menonjol
sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening nyata.
Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berumur 30 tahun dan mempunyai
volume otak 1.630 cc. Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat
yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan
rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga
busur kening yang nyata. Pada tengkorak laki-laki perlekatan otot sangat nyata.
Langit-langit juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigi-gigi yang besar pula.
Kalau menutup gigi muka atas mengenai gigi muka bawah. Dari tulang pahanya
dapat diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
manusia wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk
Homo sapiens,
jadi sangat berbeda ciri-cirinya dengan Pithecanthropus. Manusia Wajak
mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelanesoid. Diperkirakan dari
manusia Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi
ras Austromelanesoid sekarang. Hal itu dapat dilihat dari ciri tengkoraknya
yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap
tengkoraknya dari muka ke belakang. Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh karena
sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga
memperlihatkan ciri-ciri ke dua ras di atas.
Temuan Wajak menunjukkan pada kita bahwa
sekitar 40.000 tahun yang lalu Indonesia sudah didiami oleh Homo
sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan
ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga manusia Wajak dapat dianggap sebagai
suatu ras tersendiri. Manusia Wajak tidak langsung berevolusi dari
Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan Homo
neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun
dari Homo neanderthalensis di
tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke arah Homo yang ditemukan di Indonesia.
Manusia Wajak itu tidak hanya mendiami
Kepulauan Indonesia bagian Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia
bagian Timur. Ras Wajak ini merupakan penduduk Homo
sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang
kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka
ia lebih dekat dengan sub-ras Melayu-Indonesia. Hubungannya dengan ras Australoid
dan Melanesoid sekarang lebih jauh, oleh karena kedua sub-ras ini baru mencapai
bentuknya yang sekarang di tempatnya yang baru. tetapi memang mungkin juga
bahwa ras Austromelanesoid yang dahulu berasal dari ras Wajak.
b. Manusia Liang Bua
Pengumuman tentang penemuan manusia Homo
floresiensis tahun 2004 menggemparkan dunia ilmu
pengetahuan. Sisa-sisa manusia ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim
peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman prasejarah di
Flores. Liang Bua bila diartikan secara harfiah merupakan sebuah gua yang
dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang
datar, merupakan tempat bermukim yang nyaman bagi manusia pada masa pra-aksara.
Hal itu bisa dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang
berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya. Liang Bua
merupakan sebuah temuan manusia modern awal dari akhir masa Pleistosen di
Indonesia yang menakjubkan yang diharapkan dapat menyibak asal usul manusia di
Kepulauan Indonesia.
Manusia Liang Bua ditemukan oleh Peter
Brown dan Mike J. Morwood pada bulan September 2003 lalu. Temuan itu dianggap sebagai
penemuan spesies baru yang kemudian diberi nama Homo
floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil
Manusia Liang Bua.
Pada tahun 1950-an, sebenarnya Manusia
Liang Bua telah memberikan data-data tentang adanya kehidupan pra-aksara. Saat Th.
Verhoeven lebih dahulu menemukan beberapa fragmen tulang manusia di Liang Bua,
ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan berbagai alat serpih dan
gerabah. Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka manusia beserta beberapa bekal
kubur yang antara lain berupa beliung dan barang-barang gerabah.Diperkirakan Liang
Bua merupakan sebuah situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua
mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan
volume otak 380 cc. Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo
erectus (1.000 cc), manusia modern Homo
sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah
volume otak simpanse (450 cc).
Pada tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan penelitian beberapa kerangka manusia
yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu sebanding dengan temuantemuan rangka
manusia sebelumnya. Hasil temuan itu menunjukkan bahwa Manusia Liang Bua secara
kronologis menunjukkan hunian dari fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik,
dan Paleolitik.
Menurut Teuku Jacob, Manusia Liang Bua
secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri
Australomelanesid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang. Tahun 2003 diadakan penggalian
oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, bekerjasama antara Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional dengan University of New England, Australia. Penggalian itu
menghasilkan temuan berupa sisa manusia tidak kurang dari enam individu yang
menunjukkan aspek morfologis dan postur yang sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai
kesamaan dengan alat-alat batu dan sisa-sisa binatang komodo dan spesies kerdil
gajah purba jenis stegodon. Temuan itu sempat menjadi bahan perdebatan mengenai
status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam spesies
baru, yaitu Homo florensiensis,
atau sebagai satu jenis spesies yang telah ada di kalangan genus Homo?
Dalam pengamatan yang lebih mendalam
terhadap manusia Flores itu, ternyata ada percampuran antara karakter kranial
yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan
Homo sapiens.
Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua 1 (LB1) dan Liang Bua 6
(LB6) menunjukkan dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan pada Homo
erectus, walaupun beberapa aspek modern Homo
sapiens juga sangat terlihat jelas. Namun
demikian, karakter Homo sapiens hendaknya
dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan
dengan masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1
dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo
sapiens.
3. Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh
Dubois dihubungkan dengan teori evolusi manusia yang dituliskan oleh Charles
Darwin. Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu seperti berikut. Pemenuan
fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam berbagai
majalah ilmiah melahirkan perdebatan. Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan
bahwa, menurut teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus adalah
peralihan kera ke manusia. Kera merupakan moyang manusia. Pernyatakan Dubois
itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume
kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan tulang paha yang berciri modern itu berasal
dari satu individu? Sementara orang menduga bahwa tengkorak tersebut merupakan
tengkorak seekor gibon, gigi-gigi merupakan milik Pongo sp., dan tulang pahanya
milik manusia modern? Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi
tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang
berukuran besar, akar gigi yang kuat dan terbuka, dentikulasi yang tidak
individual, dan permukaan occulsal yang sangat berkerut-kerut.
Tahun 1920-an merupakan periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu terus menjadi perdebatan, para ahli paleontologi berbicara tentang
ontogenesa dan heterokronis. Seorang teman Dubois, Bolk melakukan formulasi
teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois telah melakukan penemuan fosil missing-link.
Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa peralihan
dari kera ke manusia terjadi melalui perpanjangan perkembangan fetus. Dubois
dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat terkenal,
bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak dapat dipisahkan.
Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar sejak tahun 1927. Penemuan situs
Zhoukoudian di dekat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia,
yang diberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak
fosil beserta tulang paha tersebut menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus
erectus.
Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda dengan manusia modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat pandang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus.
Seorang ahli biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang berbeda dengan manusia modern. Pithecanthropus adalah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu hanya perbedaan species bukan perbedaan genus. Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus. Maka berakhirlah debat pandang mengenai Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan manusia yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bagian dari Homo erectus.
Uji Kompetensi
- Mengapa para ahli banyak melakukan penelitian manusia purba di bantaran sungai?
- Jelaskan ciri dan mengapa hasil penelitian Dubois di Trinil disebut sebagai jenis Pithecanthropus erectus (kera yang berjalan tegak)?
- Menurut pendapat kamu, bagaimana manusia purba bisa menyebar ke dalam wilayah Kepulauan Indonesia bahkan sampai ke luar wilayah Kepulauan Indonesia?
- Buatlah karya ilmiah (2–3 halaman) dengan tajuk, Sangiran Laboratorium Manusia Purba!
- Coba kamu inventarisir berbagai situs dan tinggalan manusia purba di daerah kamu masing-masing.
Belum ada Komentar untuk "Mengenal Manusia Purba - Bagian 3"
Posting Komentar